Bahaya gula bibit, penyedap, formalin & minyak goreng bekas
13/01/2006 - www.kompas.co.id, Oleh: Dr. Handrawan Nadesul, Dokter Umum.
Bukan kali pertama kalau diberitakan jajanan anak sekolah (dan orang
dewasa) tidak menyehatkan. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan)
memperingatkan (kembali) hal itu baru-baru ini.
Apa bahaya rata-rata makanan jajanan kita terhadap kesehatan?
Sekitar tahun 80-an, diberitakan sejumlah karyawan sebuah pabrik semen
menderita pusing dan mual sehabis makan siang. Kejadian begini bukan baru
sekali. Sudah lama keluhan yang sama muncul pada mereka setiap habis makan
siang di sebuah warung makan kaki lima.
Keracunan makanankah penyebabnya?
Ternyata bukan. Tim Dinas Kesehatan setempat menyelidiki apa gerangan
penyebab keluhan yang diderita sejumlah karyawan yang mengonsumsi menu
makan siang di warung yang sama. Diduga kuat dari saus tomatnya.
Setelah dilacak, saus tomat itu terbuat dari ubi, cuka, dan zat warna
tekstil (rhodomin-B). Zat warna tekstil inilah yang diperkirakan
berpotensi menimbulkan keluhan tersebut.
Berbahayakah?
Tentu tidak sekadar pusing belaka yang ditakutkan, melainkan juga bahaya
jangka panjangnya. Zat warna tekstil jenis itu bersifat karsinogenik juga.
Artinya, bersifat pemantik munculnya kanker bila dikonsumsi rutin untuk
waktu yang lama.
Kita menyaksikan yang ada di meja makan warung nasi, penjual bakmi bakso,
dan kantin sekolah, kemungkinan besar jenis saus tomat semacam itu. Kalau
tidak, kenapa harganya bisa rendah sekali? Kecurigaan harus muncul bila
ada saus tomat semurah itu.
Bukan cuma dalam saus tomat zat warna tekstil rhodomin-B juga konon pernah
ditemukan dalam lipstik dan pemerah pipi, selain bahan pewarna penganan
dan jajanan, termasuk mungkin dalam sirop murah.
Dalam sebuah reportase belum lama ini, sebuah stasiun TV swasta menyiarkan
tayangan betapa merasa tak bersalahnya seorang pembuat sirop yang
dijajakan di sekolah, kurang higienis, memakai air mentah (belum dimasak),
dan zat warna buatan yang diduga rhodomin-B juga. Hal itu sudah
dikerjakannya bertahun-tahun.
Sirop dan limun murah di jajanan sekolah ini yang membuat kita prihatin.
Generasi anak sekolah (pinggiran, dari ekonomi kurang mampu) kita tengah
memanggul risiko terkena kanker saat dewasa, selain bahaya infeksi perut
dadakan.
Gula Bibit
Selain pewarna, jajanan kakilima yang memang buat kantong ekonomi lemah,
dengan harga yang lebih terjangkau, tak mungkin sepenuhnya menggunakan
gula asli (gula pasir maupun gula merah), melainkan memilih gula bibit.
Kita tahu gula bibit tidak semuanya aman bagi kesehatan. Sebut saja gula
sakarin dan aspartam, yang jauh lebih murah dibanding gula asli.
Bisa dipastikan jenis gula bibit murah begini, yang sudah dilarang
digunakan, masih saja dipakai oleh rata-rata pembuat makanan dan minuman
rumahan. Limun, sirop, saus, dan kecap murah, hampir pasti mencampurkan
gula bibit, kalau bukan seluruhnya bahan kimiawi berbahaya ini.
Pemanis buatan lain tentu ada yang lebih aman, dari daun stevia misalnya.
Namun, karena harganya tidak terjangkau untuk membuat kudapan murah,
pedagang memihih gula buatan yang lebih murah.
Belakangan pemanis buatan aspartam juga gencar dilarang, lantaran efek
buruknya, antara lain diduga terhadap otak. Namun, masih banyak jajanan
dan panganan, selain industri makanan yang menggunakan aspartam.
Penyedap
Perhatikan bagaimana tukang bakso pinggir jalan menambahkan bumbu penyedap
(sodium gluamic). Dahulu, untuk menuangkan bumbu penyedap (disebut mecin,
vetsin) memakai sendok khusus terbuat dari kayu dengan penampang seujung
kelingking. Maksudnya paling banyak disedok pun takarannya hanya seujung
kelingking itu.
Tidak demikian hal sekarang. Rata-rata dituang langsung dari kantong
plastik kemasan atau memakai sendok makan. Semakin banyak penyedap
dituangkan, semakin gurih rasa barang jualannya.
Dari kacamata ekonomi, akan lebih menguntungkan bila menuangkan lebih
banyak penyedap karena menambah lezat cita rasa jajanan. Air putih (bukan
kaldu) yang dibubuhi penyedap banyak-banyak dengan cara murah dan mudah
menjadi sangat menyerupai kuah kaldu yang harus lebih tinggi modalnya.
Apa bahaya mengonsumsi penyedap banyak-banyak? Ya, bila dikonsumsi rutin
untuk jangka waktu lama, penyedap buruk efeknya terhadap susunan saraf
pusat, selain efek alergi bagi yang tidak tahan (post restaurant
syndrome), juga pusing-pusing sehabis makan di restoran (akibat penyedap).
Bagi mereka yang ingin aman, selain minta tidak pakai penyedap bila
memesan makanan restoran, masakan di rumah sendiri sama sekali bebas
penyedap buatan. Rasa gurih sehatnya cukup hanya mengandalkan bahan alami,
seperti rasa kaldu ayam, sapi, atau ikan belaka, tanpa perlu menambahkan
bumbu penyedap buatan.
Formalin
Kita juga mengenal bahan formalin. Selain digunakan buat pengawet mayat
agar tidak lekas membusuk, formalin juga masuk ke industri makanan
(rumahan). Bukan baru sekarang kita mendengar atau mungkin membaca kalau
formalin juga masuk industri pembuatan tahu.
Agar awet tidak lekas rusak (besi), industri tahu (murah) juga
memanfaatkan formalin, agar tidak sampai merugi. Tahu yang berformalin
dijajakan di mana-mana. Padahal, formalin juga tidak menyehatkan.
Masalahnya, bagaimana mengontrol begitu banyak dan luasnya industri
rumahan tahu di Indonesia?
Formalin juga dimanfaatkan untuk proses pembuatan ikan asin. Penjualan
ikan asin di suatu daerah, baru-baru ini diberitakan menurun akibat
kedapatan pembuatannya memakai formalin agar lebih awet.
Selain formalin, kita juga membaca atau mendengar pembuatan bakso
mencampurkan bahan kimiawi boraks juga, selain beberapa jenis bahan
kimiawi yang sudah terbukti membahayakan kesehatan, masih lolos tak
terkontrol. Betapa longgarnya kendali terhadap pemakaian bahan-bahan
berbahaya karena memang tidak mudah rentang kendali untuk ribuan industri
makanan dan minuman rumahan, termasuk jamu rumahan.
Minyak Goreng Bekas
Disinyalir, kebanyakan jajanan gorengan pinggir jalan juga menggunakan
minyak goreng bekas, kalau bukan minyak goreng yang sudah dioplos dengan
minyak lain yang lebih murah. Minyak goreng oplosan ini yang diduga
membahayakan kesehatan.
Kita sudah tahu kalau minyak goreng bekas (jelantah) bersifat karsinogenik
juga. Restoran ayam goreng yang tidak memakai lagi minyak goreng habis
pakainya, menjualnya ke penjual gorengan pinggir jalan. Kalau itu
dikonsumsi rutin untuk jangka waktu lama, tentu sama tidak sehatnya dengan
bahan karsinogenik lainnya, termasuk jika kita melakukannya juga di rumah
sendiri.*
13/01/2006 - www.kompas.co.id, Oleh: Dr. Handrawan Nadesul, Dokter Umum.
Bukan kali pertama kalau diberitakan jajanan anak sekolah (dan orang
dewasa) tidak menyehatkan. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan)
memperingatkan (kembali) hal itu baru-baru ini.
Apa bahaya rata-rata makanan jajanan kita terhadap kesehatan?
Sekitar tahun 80-an, diberitakan sejumlah karyawan sebuah pabrik semen
menderita pusing dan mual sehabis makan siang. Kejadian begini bukan baru
sekali. Sudah lama keluhan yang sama muncul pada mereka setiap habis makan
siang di sebuah warung makan kaki lima.
Keracunan makanankah penyebabnya?
Ternyata bukan. Tim Dinas Kesehatan setempat menyelidiki apa gerangan
penyebab keluhan yang diderita sejumlah karyawan yang mengonsumsi menu
makan siang di warung yang sama. Diduga kuat dari saus tomatnya.
Setelah dilacak, saus tomat itu terbuat dari ubi, cuka, dan zat warna
tekstil (rhodomin-B). Zat warna tekstil inilah yang diperkirakan
berpotensi menimbulkan keluhan tersebut.
Berbahayakah?
Tentu tidak sekadar pusing belaka yang ditakutkan, melainkan juga bahaya
jangka panjangnya. Zat warna tekstil jenis itu bersifat karsinogenik juga.
Artinya, bersifat pemantik munculnya kanker bila dikonsumsi rutin untuk
waktu yang lama.
Kita menyaksikan yang ada di meja makan warung nasi, penjual bakmi bakso,
dan kantin sekolah, kemungkinan besar jenis saus tomat semacam itu. Kalau
tidak, kenapa harganya bisa rendah sekali? Kecurigaan harus muncul bila
ada saus tomat semurah itu.
Bukan cuma dalam saus tomat zat warna tekstil rhodomin-B juga konon pernah
ditemukan dalam lipstik dan pemerah pipi, selain bahan pewarna penganan
dan jajanan, termasuk mungkin dalam sirop murah.
Dalam sebuah reportase belum lama ini, sebuah stasiun TV swasta menyiarkan
tayangan betapa merasa tak bersalahnya seorang pembuat sirop yang
dijajakan di sekolah, kurang higienis, memakai air mentah (belum dimasak),
dan zat warna buatan yang diduga rhodomin-B juga. Hal itu sudah
dikerjakannya bertahun-tahun.
Sirop dan limun murah di jajanan sekolah ini yang membuat kita prihatin.
Generasi anak sekolah (pinggiran, dari ekonomi kurang mampu) kita tengah
memanggul risiko terkena kanker saat dewasa, selain bahaya infeksi perut
dadakan.
Gula Bibit
Selain pewarna, jajanan kakilima yang memang buat kantong ekonomi lemah,
dengan harga yang lebih terjangkau, tak mungkin sepenuhnya menggunakan
gula asli (gula pasir maupun gula merah), melainkan memilih gula bibit.
Kita tahu gula bibit tidak semuanya aman bagi kesehatan. Sebut saja gula
sakarin dan aspartam, yang jauh lebih murah dibanding gula asli.
Bisa dipastikan jenis gula bibit murah begini, yang sudah dilarang
digunakan, masih saja dipakai oleh rata-rata pembuat makanan dan minuman
rumahan. Limun, sirop, saus, dan kecap murah, hampir pasti mencampurkan
gula bibit, kalau bukan seluruhnya bahan kimiawi berbahaya ini.
Pemanis buatan lain tentu ada yang lebih aman, dari daun stevia misalnya.
Namun, karena harganya tidak terjangkau untuk membuat kudapan murah,
pedagang memihih gula buatan yang lebih murah.
Belakangan pemanis buatan aspartam juga gencar dilarang, lantaran efek
buruknya, antara lain diduga terhadap otak. Namun, masih banyak jajanan
dan panganan, selain industri makanan yang menggunakan aspartam.
Penyedap
Perhatikan bagaimana tukang bakso pinggir jalan menambahkan bumbu penyedap
(sodium gluamic). Dahulu, untuk menuangkan bumbu penyedap (disebut mecin,
vetsin) memakai sendok khusus terbuat dari kayu dengan penampang seujung
kelingking. Maksudnya paling banyak disedok pun takarannya hanya seujung
kelingking itu.
Tidak demikian hal sekarang. Rata-rata dituang langsung dari kantong
plastik kemasan atau memakai sendok makan. Semakin banyak penyedap
dituangkan, semakin gurih rasa barang jualannya.
Dari kacamata ekonomi, akan lebih menguntungkan bila menuangkan lebih
banyak penyedap karena menambah lezat cita rasa jajanan. Air putih (bukan
kaldu) yang dibubuhi penyedap banyak-banyak dengan cara murah dan mudah
menjadi sangat menyerupai kuah kaldu yang harus lebih tinggi modalnya.
Apa bahaya mengonsumsi penyedap banyak-banyak? Ya, bila dikonsumsi rutin
untuk jangka waktu lama, penyedap buruk efeknya terhadap susunan saraf
pusat, selain efek alergi bagi yang tidak tahan (post restaurant
syndrome), juga pusing-pusing sehabis makan di restoran (akibat penyedap).
Bagi mereka yang ingin aman, selain minta tidak pakai penyedap bila
memesan makanan restoran, masakan di rumah sendiri sama sekali bebas
penyedap buatan. Rasa gurih sehatnya cukup hanya mengandalkan bahan alami,
seperti rasa kaldu ayam, sapi, atau ikan belaka, tanpa perlu menambahkan
bumbu penyedap buatan.
Formalin
Kita juga mengenal bahan formalin. Selain digunakan buat pengawet mayat
agar tidak lekas membusuk, formalin juga masuk ke industri makanan
(rumahan). Bukan baru sekarang kita mendengar atau mungkin membaca kalau
formalin juga masuk industri pembuatan tahu.
Agar awet tidak lekas rusak (besi), industri tahu (murah) juga
memanfaatkan formalin, agar tidak sampai merugi. Tahu yang berformalin
dijajakan di mana-mana. Padahal, formalin juga tidak menyehatkan.
Masalahnya, bagaimana mengontrol begitu banyak dan luasnya industri
rumahan tahu di Indonesia?
Formalin juga dimanfaatkan untuk proses pembuatan ikan asin. Penjualan
ikan asin di suatu daerah, baru-baru ini diberitakan menurun akibat
kedapatan pembuatannya memakai formalin agar lebih awet.
Selain formalin, kita juga membaca atau mendengar pembuatan bakso
mencampurkan bahan kimiawi boraks juga, selain beberapa jenis bahan
kimiawi yang sudah terbukti membahayakan kesehatan, masih lolos tak
terkontrol. Betapa longgarnya kendali terhadap pemakaian bahan-bahan
berbahaya karena memang tidak mudah rentang kendali untuk ribuan industri
makanan dan minuman rumahan, termasuk jamu rumahan.
Minyak Goreng Bekas
Disinyalir, kebanyakan jajanan gorengan pinggir jalan juga menggunakan
minyak goreng bekas, kalau bukan minyak goreng yang sudah dioplos dengan
minyak lain yang lebih murah. Minyak goreng oplosan ini yang diduga
membahayakan kesehatan.
Kita sudah tahu kalau minyak goreng bekas (jelantah) bersifat karsinogenik
juga. Restoran ayam goreng yang tidak memakai lagi minyak goreng habis
pakainya, menjualnya ke penjual gorengan pinggir jalan. Kalau itu
dikonsumsi rutin untuk jangka waktu lama, tentu sama tidak sehatnya dengan
bahan karsinogenik lainnya, termasuk jika kita melakukannya juga di rumah
sendiri.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar