WELCOME TO MY BLOG

WELCOME TO MY BLOG

Rabu, 26 Mei 2010

PARADIGMA KESEJAHTERAAN RAKYAT DALAM EKONOMI PANCASILA

I. Amandemen Konstitusi yang Keliru

1. Ada tiga istilah berbeda yang dalam praktek digunakan secara bergantian dan sering dianggap sama arti yaitu Kesejahteraan Sosial (judul bab XIV UUD 1945), Kemakmuran Rakyat (ayat 3 pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya), dan Kesejahteraan Rakyat (nama sebuah Kementerian Koordinator). Kebanyakan kita tidak berminat secara serius membahas secara ilmiah perbedaan ke tiga istilah tersebut. Akibat dari keengganan ini jelas yaitu tidak pernah ada kepastian dan ketegasan apa misi sosial instansi-instansi pemerintah atau kementerian utama yang berada dalam lingkup Menko Kesejahteraan Rakyat seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Departemen/Kementerian Sosial. Jika judul bab XIV yang mencakup pasal 33 UUD 2002 (amandemen pasal 33 UUD 1945) diubah dari hanya Kesejahteraan Sosial menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (terdiri atas 5 pasal, 3 pasal lama dan 2 pasal baru), maka anggota MPR kita rupanya telah tersesat ikut menganggap bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial. Pada saat disahkannya UUD 1945 para pendiri negara tidak ragu-ragu bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial. Dalam kaitan dengan dasar-dasar ilmiah lahirnya ilmu ekonomi, para pendiri negara berpandangan bahwa ilmu ekonomi adalah cabang/bagian dari ilmu sosial yang pengamalannya akan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

2. Kekeliruan lain yang muncul dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 adalah penambahan ayat 4 tentang penyelenggaraan perekonomian nasional yang dibedakan dari penyusunan perekonomian nasional yang sudah disebutkan pada ayat 1: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Alasan penambahan ayat 4 rupanya sekedar mencari kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin menggusur asas kekeluargaan pada ayat 1. Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan memang bersemangat sekali memasukkan kata efisiensi (ekonomi) karena mengira asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi, padahal yang benar perekonomian yang berasas kekeluargaan atau berasas Pancasila tidak berarti sistem ekonomi “bukan pasar”. “Masih untung”, dalam rumusan hasil amandemen (ayat 4) kata efisiensi disambung dengan kata berkeadilan (efisiensi berkeadilan), padahal rumusan aslinya adalah efisiensi, berkeadilan, … dst. Tentu dapat dipertanyakan apakah memang ada konsep efisiensi berkeadilan atau sebaliknya efisiensi yang tidak berkeadilan.

3. Kekeliruan fatal yang dapat dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap ikrar para pendiri negara adalah penghapusan total penjelasan pasal-pasal UUD 1945 pada UUD 2002. Menyangkut pasal 33, penghapusan penjelasan UUD 1945 ini berarti hilangnya pengertian demokrasi ekonomi (pengutamaan kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang-seorang, atau “produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”), dan juga dihilangkannya kata koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi atau asas kekeluargaan. Seorang angota DPRD Kota Magelang saat mengetahui hal ini (12 Maret) menyatakan bingung lalu bertanya, “Apa pegangan kami untuk melaksanakan dan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan?”

4. Demikian, paham “ekonomisme” yang telah “merajalela” di Indonesia sejak Orde Baru dan lebih diintensifkan lagi sejak meningkatnya globalisasi dan Neoliberalisme medio delapan puluhan (Kebijaksanaan Paket 88), telah benar-benar “mengacaukan” pengertian kesejahteraan rakyat di Indonesia, sampai-sampai seorang konglomerat yang tidak setuju konsep ekonomi rakyat pada tahun 1997 menjadi penasaran dengan menyatakan “Saya (yang konglomerat) kan juga rakyat to, Pak?”. Di sini jelas betapa kata rakyat dalam pengertian tata-negara telah dikacaukan untuk membela kepentingan ekonomi mereka yang tidak termasuk ekonomi rakyat. Seharusnya tidak sulit mematahkan argumentasi konglomerat tersebut apabila dikatakan, “Jika Anda memang rakyat, mengapa Anda tidak tinggal di RSS di komplek perumahan rakyat?”

5. Paradigma kesejahteraan rakyat memang sangat perlu diperdebatkan oleh siapa saja terutama pejabat yang bertugas memikirkan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Upaya-upaya ke arah itu selama ini dianggap cukup memadai melalui peningkatan kemakmuran rakyat (pembangunan ekonomi) atau melalui program-program penanggulangan kemiskinan yang hasilnya memang sejauh ini masih belum menggembirakan.

Terbukti bahwa berbagai upaya dan program ini banyak yang tidak berhasil terutama karena dilaksanakan dalam kerangka sistem ekonomi pasar bebas yang kapitalistik liberal, yang tidak peduli pada “nasib” rakyat kecil dan membiarkan terjadinya persaingan liberal antara konglomerat dan ekonomi rakyat. Inilah masalah besar sistem perekonomian yang kini berjalan di Indonesia. Kita patut terus-menerus berusaha untuk mewujudkan sistem ekonomi Pancasila yaitu sistem ekonomi pasar yang mengacu pada sila-sila Pancasila, yang benar-benar menjanjikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


II. Ekonomisme yang Menjauhi Pancasila

6. Dalam buku Wilber Moore, Economy and Society (Random House, 1955) yang meminjam dari buku besar Max Weber sosiolog Jerman, Wirtschaft und Gesellschaft atau Economy and Society (Tubingen, JCB Hohr, 1910) jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil yang merupakan bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat yang makin komplek, kehidupan ekonomi menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem (ekonomi) kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang masyarakat sendiri.

Meskipun di Indonesia semua orang menyadari krisis yang kita hadapi sejak 1997 adalah krisis multidimensi (politik, ekonomi, budaya), namun orang cenderung dengan mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Konotasi ekonomi rupanya dianggap jauh lebih “menyeluruh” atau dianggap jauh lebih penting ketimbang aspek-aspek kehidupan politik, sosial, budaya, bahkan moral. Adapun alasan utama anggapan lebih pentingnya ekonomi ketimbang faktor-faktor lain adalah karena sejak pembangunan ber-Repelita (1969), pembangunan ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama 30 tahun (210% secara akumulatif), telah mengubah Indonesia secara “luar biasa” dari sebuah negara miskin menjadi megara yang tidak miskin lagi.

7. Perubahan besar masyarakat Indonesia karena keberhasilan dalam pembangunan ekonomi memberikan kesan adanya sumbangan luar biasa dari teknokrat ekonomi dan hampir-hampir melupakan kemungkinan adanya jasa kepakaran lain-lain di luar ekonomi. Jika ada profesi lain di luar ekonomi ia adalah militer yang telah berjasa menjaga kestabilan politik pemerintah Orde Baru, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Inilah yang oleh Bank Dunia (1993) disebut sebagai East Asian Miracle, karena Indonesia merupakan bagian dari 8 negara Asia Timur yang telah mengalami “Sustainable rapid growth with highly equal income distribution”. Jika kita baca secara teliti buku East Asian Miracle maka akan nampak kesembronoannya dalam menggambarkan realita ekonomi Indonesia saat itu. Memang benar pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 7% pertahun berlangsung 30 tahun, meskipun pernah serendah 2,2% pada tahun 1982. Namun sangat keliru untuk menyatakan bahwa pembagian pendapatannya sangat merata (highly equal). Pada tahun yang sama dengan penerbitan buku (1993), Sidang Umum MPR menyatakan telah munculnya kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang tajam yang jika dibiarkan akan berakibat pada keangkuhan dan kecemburuan sosial. Kekeliruan fatal dari masyarakat dan bangsa Indonesia adalah mengabaikan hasil Sidang Umum MPR 1993 tersebut dan menganggap kesimpulan buku East Asian Miracle lebih benar. Akibatnya, tidak sampai Repelita VI selesai, krismon yang merupakan “bom waktu” meledak tahun 1997, tanpa kita mampu menduganya. Padahal jika kita waspada justru MPR 1993 telah benar-benar memperingatkannya.

8. Kini hampir 6 tahun setelah krismon meledak, kita bangsa Indonesia masih bersikukuh bahwa “ekonomi adalah segala-galanya”. Itulah yang kami sebut sebagai periode Ekonomisme (Mubyarto, 2001). Terbukti krisis yang jelas bersifat multidimensi kita sebut hanya sebagai krisis ekonomi dan satu-satunya jalan keluar (solution) dari suatu krisis ekonomi adalah kebijakan (makro) ekonomi untuk pemulihan ekonomi (economic recovery). Maka tidak heran kita menyambut gembira misi PBB di Jakarta bertajuk UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery) yang dipimpin pakar-pakar ekonomi. UNSFIR setelah bekerja 5 tahun di Indonesia tidak pernah berhasil membantu proses pemulihan ekonomi tetapi hasilnya baru sekedar “studi-studi”.

Salah satu kesalahan serius, sekali lagi, adalah kepercayaan kita yang terlalu besar bahwa pemulihan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan ekonomi konvensional adalah satu-satunya jalan. Dan di antara cara-cara konvensional itu adalah menganggap bahwa kebijakan moneter khususnya melalui peranan perbankan modern adalah segala-galanya. Sektor perbankan dianggap “conditio sine qua non” termasuk kini pasar uang dan pasar modal, sehingga pemerintah bersedia membiayai berapapun untuk “menyelamatkan” sektor perbankan melalui program rekapitalisasi perbankan. Sikap pemerintah yang keliru dalam menghadapi krisis perbankan inilah yang telah menyandera seluruh kebijakan pemerintah sejak krismon padahal terbukti BPPN sebagai rumah sakit perbankan nasional justru menjadi lahan baru kaum pemodal (kapitalis) untuk mengeruk keuntungan bagi mereka sendiri. Di kalangan perbankan swasta sama sekali tidak nampak itikad baik membantu menyelesaikan masalah ekonomi yang sedang dihadapi negara dan bangsa Indonesia.

9. Jika kini kita bertanya kepada pakar-pakar ekonomi bagaimana peranan “Ekonomi Bangsa dalam upaya mensejahterakan Masyarakat”, maka mayoritas ekonom tidak akan sanggup menjawabnya, kecuali mereka yang tidak lagi percaya pada teori-teori ekonomi Neoklasik Ortodok Barat yang dikuasainya. Selama pakar-pakar ekonomi merasa teori ekonomi Kapitalisme-Neoliberal harus tetap dianut Indonesia, lebih-lebih jika mereka berpendapat Indonesia jangan coba-coba melawan kekuatan globalisasi yang dahsyat, maka tidak mungkin pakar-pakar ekonomi dapat menemukan resep untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia. Menghadapi kekuatan globalisasi banyak diantara pakar ekonomi kita menyarankan sikap konyol “if you can not beat them, join them”. Kita harus sadar bahwa pemecahan masalah ekonomi Indonesia tidak terletak di bidang ekonomi tetapi di bidang sosial, politik, budaya, dan moral bangsa. Faktor-faktor itulah yang terkandung dalam Pancasila ideologi bangsa. Hanya dalam Pancasila terkandung dasar-dasar moral dan kemanusiaan, cara-cara nasionalistik dan kerakyatan/demokratis, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Inilah ajaran Ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila adalah Sistem Ekonomi Pasar yang mengacu pada setiap sila Pancasila. Sistem ekonomi Pancasila memberikan pedoman penyusunan kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak sekedar efisien, tetapi juga adil. Masyarakat bangsa Indonesia yang akan kita wujudkan adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila, masyarakat yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Suatu masyarakat yang tidak efisien dapat bertahan beberapa generasi tetapi jika keadilan sama sekali diabaikan masyarakat yang bersangkutan akan terus bergejolak dan tidak pernah akan merasa tenteram.

10. Dalam era perubahan besar yang kita kenal dengan nama globalisasi atau keadaan pasar bebas, ekonomi Indonesia akan terhanyut, dan tidak akan mampu bertahan, jika kita sebagai bangsa tidak lagi mempunyai rasa percaya diri. Globalisasi adalah gerakan berkekuatan raksasa karena dikendalikan oleh kekuatan modal besar dan teknologi super canggih dari negara-negara kapitalis Barat yang ingin menguasai dunia. Aturan main globalisasi adalah aturan buatan mereka dan tidak ada sedikitpun peranan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang ikut mempengaruhinya. Maka satu-satunya jalan bagi Indonesia untuk melawannya adalah dengan menyusun aturan main buatan kita sendiri berdasar kekuatan sosial-budaya kita sendiri. Itulah ideologi Pancasila, ideologi yang telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia sehingga dapat menjadi bangsa merdeka tahun 1945. Mengapa kemerdekaan Indonesia yang sudah berumur 57 tahun tidak mampu membuat bangsa Indonesia percaya diri untuk mempertahankan kemerdekaan dan menghadapi perubahan besar/globalisasi? Jawabannya jelas karena bangsa Indonesia telah tererosi moralnya dan dimanja oleh kemajuan materi selama 30 tahun era ekonomisme. Kini tidak ada jalan lain kecuali menemukan kembali jati diri bangsa dan sekali lagi jati diri itu tidak lain adalah Pancasila. Pancasila telah dua kali menyelamatkan bangsa Indonesia yaitu tahun 1945 telah membebaskan kita dari penjajahan, dan tahun 1966 membebaskan kita dari ancaman komunisme. Kini kita harus percaya bahwa hanya Pancasilalah yang akan menyelamatkan kita dari ancaman globalisasi yang liar dan serakah.


III. Kebutuhan akan Ilmu Ekonomi Pancasila

11. Pada tahun 1936 J.M. Keynes seorang diri membuat revolusi dengan menunjukkan bahwa ilmu ekonomi yang dipelajari dan dikembangkan selama 150 tahun sejak 1776 adalah ilmu yang keliru yang harus ditinggalkan jika sistem kapitalisme ingin selamat. Hal mendasar yang paling jelas kekeliruannya adalah kepercayaan selalu terjadinya keseimbangan (equilibrium) antara pasokan (supply) dan permintaan (demand) yang terkenal sebagai hukum Say (Say’s Law).

Ilmu Ekonomi di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang yang lain, juga tidak relevan (irrelevant) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ilmu ekonomi yang diajarkan di Indonesia sejak pertengahan tahun limapuluhan adalah ilmu yang mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda, yang mengajarkan sifat-sifat egoisme (memikirkan diri sendiri) pada setiap orang dan menafikan asas dan semangat kekeluargaan.

Ilmu Ekonomi Pancasila bertolak belakang dengan ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang kini diajarkan di perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah lanjutan, yang mengasumsikan rumah tangga atau masyarakat semata-mata sebagai konsumen yang hanya bertindak sebagai kumpulan “tukang belanja” dan di pihak lain produsen yaitu dunia usaha yang pekerjaannya sangat mulia yaitu memproduksi barang dan jasa bagi kepentingan masyarakat. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat/masyarakat dianggap selalu merupakan misi dunia usaha. Maka investor selalu dianggap “dewa penyelamat” yang tugasnya “memakmurkan masyarakat” atau membuka lapangan kerja baru bagi tenaga kerja yang membutuhkannya.

Demikian pakar-pakar ekonomi Indonesia yang menerima sebagai tugasnya mengemban amanat penderitaan rakyat harus berdiri di baris terdepan merombak total ajaran ilmu ekonomi Neoklasik ortodok yang sudah kita terima laksana ajaran agama, padahal ia jelas-jelas hanya mengajarkan keserakahan perorangan atas alam benda. Ilmu Ekonomi Pancasila adalah ilmu tentang ekonomi moral yang sesuai nilai dan budaya ban

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

PELAKSANAAN SISTEM EKONOMI PANCASILA DI TENGAH PRAKTEK LIBERALISASI EKONOMI DI INDONESIA

oleh:Mubyarto
sumber:http://www.ekonomirakyat.org/edisi_11/artikel_1.htm

Pendahuluan

Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia sejak medio delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini gagal karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan hasil-hasilnya.


Trilogi Pembangunan

Sebenarnya sejak terjadinya peristiwa “Malari” (Malapetaka Januari) 15 Januari 1974, slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori” yang mengoreksi teori ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan pertumbuhan . Trilogi pembangunan terdiri atas Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan yang baik ini justru terkalahkan karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia di”manja” bonansa minyak yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki nomplok minyak bumi yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat para investor asing untuk ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia. Serbuan para investor asing ini ketika melambat karena jatuhnya harga minyak dunia , selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun-tahun 1983-88. Kebijakan penarikan investor yang menjadi sangat liberal ini tidak disadari bahkan oleh para teknokrat sendiri sehingga seorang tokoknya mengaku kecolongan dengan menyatakan:

Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar. Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling liberal. (Radius Prawiro. 1998:409)


Himbauan Ekonomi Pancasila

Pada tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM “menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka ekonom-ekonom UGM melontarkan konsep Ekonomi Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966 menyatakan bahwa dari Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila terakhir, keadilan sosial, maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan mengacu pada kelima-limanya sebagai berikut:

1. Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
2.Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
3.Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
4. Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
5. Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.


Globalisasi atau Gombalisasi

Dalam 3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997), Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan Globalization and Its Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat kritis fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang yang justru menjadi semakin miskin (gombalisasi). Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa globalisasi tidak lain merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan atau “pembuangan” barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju.

Globalization is … the outcome of consciously pursued strategy, the political project of a transnational capitalist class, and formed on the basis of an institutional structure set up to serve and advance the interest of this class (Petras & Veltmeyer. 2001: 11)

Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan dunia dengan keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan “siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC ini, kini setelah terjadi krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas karena dianggap tidak didasarkan pada gambaran yang realistis atas “kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup mengherankan bila banyak pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia melaksanakan AFTA tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru harus dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena mengandalkan pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang krismon 1997 terbukti keropos.


Peran Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial

Meskipun ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR 2002 yang semula akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang batal, namun putusan untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh merupakan kekeliruan sangat serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan tambahan 2 ayat baru pada pasal 34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan APBD.

Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita yang tidak lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar bebas. Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif dan serius yang semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.


Ekonomi Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila

Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal.

Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.


Penutup

Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997.

Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.


Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)

Makalah Kuliah Umum Ekonomi Pancasila di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 9 Januari 2003.


Daftar Pustaka

Chossudovsky, Michel, 1997. The Globalization of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms. Penang Malaysia, Third World Network.

MacEwan, Arthur. 1999. Neo-Liberalism or Democracy?: Economic Strategy, Marketss, and Alternatives for the 21st Century, Pluto Press.

Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2002. A Development Alternative for Indonesia. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM.

Keen, Steve, 2001. Debunking Economics : the naked emperor of the social science. Annandale NSW, Pluto Press Australia Limited.

Petras, James & Henry Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked: imperialisem in 21st century. New York USA, Zed Books Ltd.

Radius Prawiro, 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta, Elex.

Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents. New York, W.W. Norton & Company, Inc.

Kamis, 06 Mei 2010

Apakah Krisis Saat Ini Lebih Hebat dari Great Depression 1929?

Oleh Hidayatullah Muttaqin
Foto: New York Times

Foto: New York Times

Saat ini timbul perdebatan tentang apakah krisis global yang bersumbu dari gagalnya sistem keuangan Barat (akan) lebih hebat dari Depresi Besar -Great Depression- 1929 ataukah tidak? Dalam sebuah opini New York Times (16/2/2009) dipertanyakan apakah Amerika sudah memasuki depresi? Tentu saja dijawab oleh pemerintah Amerika Serikat TIDAK.

Pertanyaan tersebut adalah wajar mengingat hampir tiap hari terjadi kebangkrutan perusahaan-perusahaan Amerika dari skala kecil hingga besar, bahkan beberapa bulan terakhir PHK di AS mencapai 500 ribu pekerja setiap bulannya. Sedangkan bursa saham Wall Street terus bergejolak.

Satu hari kemarin (5/3/2009) saya menerima e-mail newsletter dari Martin D. Weiss yang menjelaskan posisi krisis keuangan Amerika lebih buruk dibandingkan Depresi Besar 1929. Newsletter yang berjudul How far could the Dow fall? membandingkan indikator-indikator keuangan antara krisis saat ini dengan Depresi Besar.

Weiss memaparkan 7 indikator yang dapat menjelaskan apakah crash dalam sistem keuangan AS belum mencapai derajat Depresi Besar, sama, ataukah lebih hebat? Berikut indikatornya:

# Fakta Pertama

Penurunan pendapatan saat ini lebih buruk dibandingkan saat Amerika pertamakalinya ditimpa Depresi Besar. Pendapatan rata-rata terjun 61% lebih besar dibanding selama Depresi Besar tahun 1930-an. Jatuhnya pendapatan ini adalah yang terbesar dalam 141 tahun terakhir.

# Fakta Kedua

Kerugian konsumen lebih buruk. Kerugian yang dipicu Depresi pada masa lalu masih terbatas pada pasar saham. Tetapi sekarang kerugian bursa New York Stock Exchange sudah menghapus separu uang investor, dan ini baru puncak gunung es saja. Saham terbanyak milik masyarakat sebagai sumber tabungan pensiun telah lenyap sebagaimana mereka telah kehilangan rumah US$ 2,4 trilyun dalam satu tahun.

# Fakta Ketiga

Hutang yang jauh lebih besar. Rasio hutang pada tahun 1929 mencapai 170% PDB sedangkan saat ini lebih besar 2 kali lipat. Hutang rakyat AS kini rasionya 350% PDB 2 kali lebih banyak di banding masa Depresi Besar.

# Fakta Keempat

Derivatif. Kantor Pengawas Currency (OCC) melaporkan bahwa bank-bank Amerika sekarang memiliki derivatif yang sangat besar dan sangat berisiko sebanyak US$ 176 trilyun. Pada tahun 1929 tidak ada trasanksi derivatif.

# Fakta Kelima

Kandasnya raksasa-raksasa keuangan AS. Dalam 18 bulan pertama 1929-32, banyak bank kecil dan menengah yang bangkrut, sedangkan bank berskala besar tidak mengalami kebangkrutan. Kini, banyak raksasa-raksasa keuangan AS yang memiliki sejarah panjang mengalami kebangkrutan seperti Bear Streans, Lehman Brothers, Fannie and Freddie, Washington Mutual, dan Wachovia. Kebangkrutan para raksasa ini kemungkinan besar akan disusul oleh Citigroup dan AIG.

# Fakta Keenam

Hutang Nasional AS. Pada 1929, Amerika merupakan negara pemeri pinjaman (kreditor) dengan cadangan devisa yang besar. Sekarang, Amerika merupakan negara paling banyak hutangnya di dunia dengan ketergantungan yang tinggi terhadap dana asing. Ini artinya kesempatan pemerintah lebih terbatas untuk mendapatkan pinjaman dalam membiayai bailout institusi keuangan raksasa Amerika.

# Fakta Ketujuh

Kebangkrutan ekonomi dan krisis hutang. Beberapa indikator menunjukkan gambaran suram Amerika.

* Harga rumah jatuh 18,5%
* Penjualan rumah yang ada mencapai level paling rendah dalam 12 tahun
* Penjualan rumah baru mencapai titik paling bawah disepanjang tahun
* Secara tak terduga, keluarga Amerika yang kehilangan gaji dalam bulan Februari mencapai 697 ribu bertambah 25% dibanding Januari.

Indikator-indikator yang dipaparkan oleh Weiss ini memberitahukan kepada kita bahwa kondisi Amerika saat ini jauh lebih buruk dibanding Depresi Besar 1929.

Sementara itu, Amerika di bawah kepemimpinan Obama memasuki era “kebangkrutan fiskal”. Pada tahun ini, defisit APBN berada pada tingkat paling buruk sepanjang sejarah AS sejak Perang Dunia II tahun 1942. Defisit keuangan pemerintah Amerika mencapai 12,3% PDB AS. Dengan nilai anggaran US$ 3,6 trilyun maka defisit fiskal mencakup 48,61% APBN AS.

Hutang publik Amerika pada saat ini bertambah US$ 1.459Ă‚ trilyun atau meningkat 13,675% dari US$ 9,210 trilyun di awal tahun 2008 menjadi US$ 10,669 trilyun pada 24 Februari 2009. Rasio hutang pemerintah federal Amerika ini mencapai 76,01% PDB.

Amerika telah memasuki masa terburuk -paling tidak- sejak Depresi Besar 1929 sebagaimana kata Paul Krugman dalam bukunya. Ini memiliki makna awan kebangkrutan sedang menyelimuti negeri ini. Dan entah cara apalagi yang dapat digunakan pemerintah Amerika untuk -sekedar- menahan krisis, kecuali dengan cara menambah beban finansial warga AS atau dengan merampas kekayaan bangsa lain seperti invasi mereka ke Irak dan Afghanistan. Ini adalah pelajaran berharga bagi masyarakat dunia, khususnya kaum Muslim atas kerusakan sistem Kapitalisme. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]

REFERENSI

Jurnal Ekonomi Ideologis (27/2/2009), Alamak! Defisit APBN AS membengkak US$ 1,75 trilyun .

Martin D. Weiss (5/3/2009), Newsletter: How far could the Dow fall?

Fundamental Ekonomi Kuat tetapi Beban Hidup Rakyat Semakin Menghimpit

Oleh M. Hatta

Di balik fundamental ekonomi yang kuat sejatinya terdapat kehidupan masyarakat yang juga kuat, kuat kemampuan ekonominya dan kuat kepribadiannya. Tapi apa yang terjadi di Indonesia? Fundamental ekonomi Indonesia menurut Asian Development Bank berada dalam kondisi yang kuat, namun kondisi masyarakatnya berada dalam kondisi sebaliknya, lemah kemampuan ekonominya dan juga lemah kepribadiannya.

Lihat saja fakta yang terjadi di lapangan. Mulai dari penggusuran yang terus terjadi di beberapa daerah dengan alasan mengganggu keindahan dan ketertiban kota, hingga ditemukannya kembali kasus kelaparan yang terjadi di NTT. Begitu pula dalam hal kepribadian, masyarakat Indonesia hingga para pejabatnya tidak sedikit yang bermasalah kepribadiannya. Mulai dari kasus bunuh diri hingga makelar kasus di tubuh aparat penegak hukum.

Kalau faktanya demikian, lantas dapat dipercayakah kalau ada yang mengatakan fundamental ekonomi Indonesia kuat? Jawabnya tentu tidak. Penilaian fundamental ekonomi yang kuat atau tidak selain bergantung kepada indikator-indikator yang dinilai, juga sangat bergantung kepada siapa yang memberikan penilaian.

Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya dalam mengevaluasi perekonomian negeri ini kita memiliki indikator-indikator sendiri dan menilainya sendiri.

REFERENSI BERITA

detikfinance.com (13/4/2010), ADB: Fundamental Ekonomi RI Kuat, Tapi Tak Cukup Atasi Pengangguran.

Roubini: Resesi Bisa Berlanjut Hingga Akhir 2010

Roubini: Resesi Bisa Berlanjut Hingga Akhir 2010
Oleh Hidayatullah Muttaqin


Memburuknya perekonomian dunia sebagaimana laporan-laporan ekonomi terbaru yang dikeluarkan oleh berbagai negara, seakan-akan menjadi lebih suram dengan predeksi Nouriel Roubini. Roubini menyampaikan pesimismenya atas perekonomian dunia dalam pertemuan tertutup India Today sebagaimana diberitakan situs Bloomberg (6/3).
Menurut Roubini resesi global dapat berlanjut hingga akhir 2010. Hal ini disebabkan respon pemerintah dalam memperbaiki ekonomi “terlalu kecil, terlalu terlambat” kata Roubini.
Sementara itu, Roubini memprediksi ekonomi global akan menciut 1% atau tumbuh 0,5% pada 2009. Ekonomi yang baru muncul -Emerging markets- seperti China dan India pertumbuhannya akan melambat serta menghadapi situasi yang sulit.
Pertumbuhan ekonomi terbaik bagi China pada tahun 2009 adalah 5% setelah selama dekade sebelumnya tumbuh rata-rata 10%. Roubini membantah teori yang menyatakan perekonomian negara-negara emerging martkets terpisah dari negara-negara industri. Sebaliknya, ini menjadi lingkaran setan antara permintaan -demand-, penawaran -supply-, dan sistem keuangan.
Dalam situasi seperti ini, konsumen dan perusahaan akan melakukan penghematan (pengurangan pengeluaran) untuk dapat bertahan di tengah resesi. Sementara itu bank akan lebih “pelit” mengucurkan kredit di saat perekonomian yang sedang menurun. Kondisi seperti ini akan membuat kontraksi ekonomi semakin ekstrim. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]
REFERENSI BERITA
Bloomberg (6/3/2009), Roubini Says Recession May Continue Until End of 2010.

Ekonomi Dunia Tempati Posisi Terburuk Sejak PD II

Ekonomi Dunia Tempati Posisi Terburuk Sejak PD II
Oleh Hidayatullah Muttaqin
Ilustrasi: Guardian.co.uk
Kerasnya “hantaman” krisis global sudah dirasakan dunia sejak “meloncatnya” harga minyak mulai tahun 2007 lalu yang kemudian secara massive diikuti oleh kehancuran sistem keuangan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Kerasnya “hantaman” krisis global ini sangat terlihat dari upaya banyak negara mengeluarkan paket stimulus ekonomi, termasuk paket bailout yang menelan trilyunan dollas AS.
Namun apa daya, perekonomian yang sudah didorong sedemikian rupa agar tidak pecah, akhirnya terhempas juga. Pasar global terus bergejolak dalam “gelombang yang berat”, pengangguran semakin lebar, kebangkrutan industri terjadi di mana-mana, dan lebih banyak lagi “bank raksasa” di negara-negara maju menjadi “pengemis”.
Ekonomi Global Menciut
Bank Dunia dalam pandangan terbarunya mengatakan, perekonomian global kemungkinan menciut untuk pertamakalinya sejak Perang Dunia II dan perdagangan anjlok ke tingkat paling rendah dalam 80 tahun terakhir.
Prediksi Bank Dunia ini lebih pesimis dari perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF) yang dikeluarkan Januari lalu. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini sebesar 0,5%. Sementara Bank Dunia tidak menyebutkan secara khusus angka estimasi pertumbuhan ekonomi yang negatif tersebut.
Dampak Penciutan
Negara-negara berkembang akan menanggung dampak yang paling berat dari kontraksi ekonomi. Perekonomian mereka akan mengalami defisit antara SU$ 270 – 700 miliar akibat tekanan biaya impor dan beban hutang.
Sementara itu, Bank Dunia melaporkan Asia Timur akan menghadapi “pukulan” paling berat akibat menurunnya perdagangan dunia. Produksi industri dunia diperkirakan menurun 15% tahun ini dibanding tahun 2008.
Menurut Bank Dunia, akan lebih banyak hutang berisiko tinggi yang diambil pemerintah dan swasta dari perekonomian yang sedang tumbuh -emerging markets. Hutang-hutang tersebut hanya dapat diperoleh di pasar modal dengan tanggungan bunga yang sangat tinggi, sebagaimana penerbitan obligasi internasional senilai US$ 3 miliar oleh pemerintah Indonesia bulan Februari lalu.
Di samping resiko biaya hutatang yang sangat tinggi, swasta dan pemerintah dari negara-negara emerging markets akan menghadapi beban pembayaran hutang yang cukup tinggi. Bank Dunia mengatakan tahun ini hutang swasta yang jatuh tempo mencapai US$ 1 trilyun dan hutang pemerintah yang harus dibayar sebesar US$ 3 trilyun.
Dalam laporan Bank Dunia, 94 negara akan mengalami pelambatan pertumbuhan dengan ledakan tingkat kemiskinan hingga 43%. Krisis ekonomi akan menambah jumlah penduduk miskin sebesar 46 juta jiwa. Akibatnya, ketergantungan pada bantuan luar negeri menjadi lebih besar.
Krisis tahun ini akan menjadi titik balik apakah sistem Kapitalisme dapat bertahan dengan paket-paket stimulusnya. Ataukah semakin terpuruk dan lemah sehingga secara sistematis akan mengalami kerusakan permanen, berupa kehancuran institusi dalam jangka tertentu?
Kita membutuhkan solusi di luar sistem Kapitalisme. Solusi itu adalah institusi yang dapat menerapkan hukum-hukum Allah dalam mengatasi krisis, yakni Khilafah Islamiyah. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]
REFERENSI BERITA
Bloomberg (9/3/2009), Global Economy to Shrink First Time Since WWII, World Bank Says.

Paradoks Ekonomi : Resesi Berakhir Pengangguran Meningkat

Paradoks Ekonomi : Resesi Berakhir Pengangguran Meningkat
Oleh Hidayatullah Muttaqin
Posisi perekonomian di banyak negara saat ini mulai membaik dari sisi indikator permintaan dan pertumbuhan. Kondisi ini mendorong berbagai negara mendeklarasikan diri telah keluar dari resesi ekonomi atau mungkin akan mengakhri masa ekonomi suram.
Di Asia, ADB meramalkan perekonomian negara-negara Asia dengan pertumbuhan ekonominya akan memimpin pemulihan ekonomi global. Di Amerika, gubernur bank sentral AS, The Fed, Ben Bernake mendeklarasikan kejatuhan ekonomi AS segera berakhir. Sedangkan di Eropa, gubernur bank sentral Inggris, BoE (Bank of England), Mervyn King minggu lalu menyatakan Inggris telah bergabung dengan Jerman dan Prancis dalam barisan negara yang keluar dari resesi.
Paradoks Krisis
Harian Inggris The Independent (20/9) menurunkan sebuah laporan tentang paradoks ekonomi yang mengiringi pemulihan ekonomi. Meski berbagai negara besar telah menyatakan sudah keluar dari resesi atau akan berhenti dari kejatuhan ekonomi, pada kenyataannya negara-negara tersebut menghadapi masalah semakin meningkatnya jumlah pengangguran.
Di Inggris, jumlah pengangguran bertambah 2,5 juta orang dalam 3 bulan hingga Juli. Ini merupakan level tertinggi sejak tahun 1995.
Posisi angka pengangguran di Inggris sendiri 7,9% masih di bawah angka pengangguran rata-rata Uni Eropa, OECD, dan G7. Sementara Amerika Serikat dan Prancis telah menembus tingkat pengangguran 10%. Negara lain seperti Irlandia angka pengangguran mencapai 12%.
OECD, organisasi yang menghimpun negara-negara industri minggu lalu melaporkan akibat pelambatan ekonomi global di seluruh dunia telah kehilangan 25 juta lapangan kerja. Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria menyatakan pengangguran akan tetap bertambah pada tahun depan.
Ketika bisnis mulai tumbuh akibat dorongan permintaan domestik ataupun pasar internasional yang mulai menaik, tidak otomatis lapangan kerja bertambah dalam sebuah perusahaan sebanyak lapangan kerja yang hilang sebelumnya.
Di sisi lain bailout dan stimulus fiskal yang dijalankan sebuah negara untuk mendorong permintaan dan pertumbuhan ekonomi domestiknya harus dibiayai dengan hutang dengan kompensasi bunga. Dalam jangka pendek dan jangka panjang langkah ini menimbulkan beban keuangan pemerintah yang cukup berat dan lagi-lagi harus ditanggung rakyat negara bersangkutan. Ini juga sebuah paradoks.
Hal ini merefleksikan: “Jika resesi (akan) berlalu dengan pemulihan di sisi permintaan (domestik) dan laju pertumbuhan telah beranjak dari negatif ke positif, maka tidak otomatis krisis pasti akan berakhir.” Dengan kata lain, “jangan tertipu oleh gejala-gejala di permukaan”.
Ekonomi memang tumbuh, tetapi pertumbuhan tersebut tidak memecahkan masalah pengangguran. Permintaan memang mulai pulih tetapi permintaan tersebut didorong oleh konsumsi yang dibiayai hutang. Hal ini berbeda jika permintaan lahir dari kemampuan finansial mandiri.
Ibarat pasien yang sedang sakit, negara-negara di dunia saat ini memfokuskan perhatiannya pada gejala-gejala sakit saja. Mereka hanya memperhatikan bagaimana caranya keluar dari krisis atau resesi dengan mendorong permintaan dan pertumbuhan.
Jika ekonomi mulai tumbuh dan terkatagori keluar dari resesi, maka perekonomian negara tersebut dianggap telah sembuh dari sakitnya. Padahal resesi hanyalah gejala yang tidak muncul kecuali ada problem sistemik di dalamnya. Tidak aneh karena salah diagnosis, krisis yang terjadi datang secara berulang-ulang, dengan rentang waktu yang lebih pendek dan konskwensi yang lebih berat. (Jurnal Ekonomi Ideologis / www.jurnal-ekonomi.org)

TDL Naik Inflasi bakal Melejit

TDL Naik Inflasi bakal Melejit
Maknanya, Masyarakat Akan Semakin Menderita
Oleh M. Hatta
INFLASI
Inflasi lagi… inflasi lagi… Dengan bahasa masyarakat sehari-hari kalimat tersebut menjadi “naik lagi…naik – lagi… harga barang, kapan turunnya?”. Sebagai mana yang dilaporkan oleh detikfinance.com, rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% menurut Pjs Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution berpotensi sumbang inflasi 0,36%. Diluar kenaikan TDL, inflasi sudah mencapai 4,8%. Dengan demikian, inflasi pada tahun 2010 ini bisa mencapai 5,2%.
Ditengah kondisi ekonomi domestik yang serba tidak menentu saat ini, ditambah lagi sikap pemerintah masih terlihat gamang dalam menghadapi ACFTA, tampaknya apa yang disampaikan oleh Pjs Gubernur Bank Indonesia akan membuat sinyal penderitaan dan kematian bagi masyarakat miskin semakin kuat.
Betapa tidak, masyarakat sejatinya telah menanggung beban kumulasi inflasi yang terus menggunung. Sebagai bukti, lihat saja harga-harga barang yang ada di pasar apakah ada yang turun? Harga semangkok bakso di tahun 1995 yang seharga Rp. 1500an, sekarang sudah menjadi Rp. 8000an bahkan lebih. Sungguh sebuah “prestasi yang luar biasa”.
Namun, rupanya bagi pemerintah beban inflasi yang harus ditanggung oleh masyarakat masih terlampau kecil sehingga harus ditambah dengan kenaikan TDL.
Pemerintah lebih tampak peduli dengan defisitnya APBN daripada kehidupan rakyatnya yang terus menderita. Pemerintah lebih peduli nasib diri mereka selama menjabat daripada nasib rakyat yang terkatung-katung.
Untuk itu, agar bisa keluar dari beban inflasi yang terus menghimpit saatnya masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam khususnya untuk melakukan perubahan totalitas di negeri ini. Bukan perubahan yang banci. Ganti sistem dan rezim dengan Syariah dan Khilafah.
REFERENSI BERITA
Detikfinance.com (9/4/2010), Kenaikan Tarif Listrik Tambah Inflasi 0,36%.

Neolib Tidak Mungkin Memajukan Ekonomi Syariah

Neolib Tidak Mungkin Memajukan Ekonomi Syariah
Oleh Hidayatullah Muttaqin

Ekonomi Syariah atau ekonomi Islam dengan Kapitalisme bagaikan surga dengan neraka. Posisi berlawanan baik dari sisi akidah maupun aturan membuat keduanya tidak mungkin berada untuk saling memajukan.
Berkaitan dengan hal ini, pakar marketing Indonesia, Hermawan Kartajaya sebagaimana diberitakan Kompas.com (11/7/2009), menyatakan kehadiran Boediono di tampuk kekuasaan sebagai wakil presiden akan memajukan ekonomi Syariah di Indonesia dan dunia internasional. Hermawan mengatakan:
“Aspirasi ekonomi syariah akan bervariasi jika Boediono sebagai wakil presiden. Sosial marketing dan kultur kepemimpinan selama menjadi Gubernur Bank Indonesia akan memberikan fasilitas yang lebih menguntungkan bagi ekonomi kita.” (Kompas.com, 11/7/2009)
Memang ekonomi Syariah secara mainstream saat ini dipahami sebagai sistem ekonomi non riba plus zakat, di mana lembaga-lembaga ekonomi di sektor keuangan yang telah dimodifikasi diidentikkan sebagai sistem ekonomi Syariah. Dalam konteks ini, ekonomi Syariah dapat hidup berdampingan dengan ekonomi Kapitalis yang identik dengan riba, spekulatif, dan materialistis.
Jika ekonomi Syariah dipandang seperti itu, maka ekonomi Syariah hidup berdampingan dengan ekonomi ribawi sebagai subordinasi Kapitalisme. Misalnya, manakala krisis keuangan global telah memukul dengan keras lembaga-lembaga keuangan ribawi di seluruh dunia, maka ekonomi Syariah dipandang sebagai pasar alternatif di dalam menggali laba.
Sejatinya, ekonomi Syariah tidak bisa dilepaskan dengan institusi umat Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan diajarkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Institusi itu adalah Khilafah. Tanpa Khilafah, ekonomi Syariah tidak dapat diterapkan secara menyeluruh dan utuh sebagaimana kaum Muslim dituntut oleh Allah SWT untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah.
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (T.QS. al-Baqarah: 208)
Garis dasar perundang-undangan dan kebijakan ekonomi dalam Khilafah adalah hukum Islam dengan standar yang jelas, yakni halal haram. Dalam hal ini, setiap peraturan dan kebijakan ekonomi Khilafah tidak boleh keluar dari koridor Syariah walau pun sejengkal.
Dari sisi paradigma kebijakan, fungsi negara dalam sistem Khilafah adalah pengatur dan pelayan urusan umat yang sangat berbeda dengan fungsi negara dalam sistem Kapitalis sebagai pelayan pasar (istilah Adam Smith: penjaga malam). Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim bersabda:
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.”
Begitu pula tujuan diturunkannya Islam dan diterapkannya Syariah adalah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah.
Ekonomi Syariah membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan mengarahkan segala kegiatan dan transaksi ekonomi menjadi bernilai ibadah. Termasuk membebaskan negara dan masyarakat dari penjajahan.
Kita dapat melihat track record pemikiran dan kebijakan yang telah diambil Boediono selama ini. Bahwa dia adalah seorang neolib, yang meminimalkan peran negara dan menyerahkan peran yang besar terhadap swasta dan asing. Dia juga termasuk pihak yang getol mempertahankan kebijakan utang Indonesia. Dengan kata lain, Boediono bersama dengan jaringan Mafia Barkeley dan para elit kekuasaan selama ini menjadikan Indonesia sebagai wilayah neoimperialisme.
Jika ekonomi Syariah benar-benar diterapkan secara orisinil, maka siapa pun yang duduk dalam pemerintahan harus mengubah sistem dan bentuk hukum negara. Menghapus segala lembaga dan transaksi berbasis riba, judi, dan yang bersifat eksploitatif. Termasuk juga memutus hubungan dengan negara-negara dan institusi keuangan dunia yang sudah jelas melakukan imperialisme. Menghentikan pengambilan utang luar negeri dan utang domestik. Mungkinkah Boediono akan melakukan hal itu? Jawabnya, tentu tidak mungkin. [JURNAL EKONOMI IDELOGIS / www.jurnal-ekonomi.org]