WELCOME TO MY BLOG

WELCOME TO MY BLOG

Kamis, 06 Mei 2010

Paradoks Ekonomi : Resesi Berakhir Pengangguran Meningkat

Paradoks Ekonomi : Resesi Berakhir Pengangguran Meningkat
Oleh Hidayatullah Muttaqin
Posisi perekonomian di banyak negara saat ini mulai membaik dari sisi indikator permintaan dan pertumbuhan. Kondisi ini mendorong berbagai negara mendeklarasikan diri telah keluar dari resesi ekonomi atau mungkin akan mengakhri masa ekonomi suram.
Di Asia, ADB meramalkan perekonomian negara-negara Asia dengan pertumbuhan ekonominya akan memimpin pemulihan ekonomi global. Di Amerika, gubernur bank sentral AS, The Fed, Ben Bernake mendeklarasikan kejatuhan ekonomi AS segera berakhir. Sedangkan di Eropa, gubernur bank sentral Inggris, BoE (Bank of England), Mervyn King minggu lalu menyatakan Inggris telah bergabung dengan Jerman dan Prancis dalam barisan negara yang keluar dari resesi.
Paradoks Krisis
Harian Inggris The Independent (20/9) menurunkan sebuah laporan tentang paradoks ekonomi yang mengiringi pemulihan ekonomi. Meski berbagai negara besar telah menyatakan sudah keluar dari resesi atau akan berhenti dari kejatuhan ekonomi, pada kenyataannya negara-negara tersebut menghadapi masalah semakin meningkatnya jumlah pengangguran.
Di Inggris, jumlah pengangguran bertambah 2,5 juta orang dalam 3 bulan hingga Juli. Ini merupakan level tertinggi sejak tahun 1995.
Posisi angka pengangguran di Inggris sendiri 7,9% masih di bawah angka pengangguran rata-rata Uni Eropa, OECD, dan G7. Sementara Amerika Serikat dan Prancis telah menembus tingkat pengangguran 10%. Negara lain seperti Irlandia angka pengangguran mencapai 12%.
OECD, organisasi yang menghimpun negara-negara industri minggu lalu melaporkan akibat pelambatan ekonomi global di seluruh dunia telah kehilangan 25 juta lapangan kerja. Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria menyatakan pengangguran akan tetap bertambah pada tahun depan.
Ketika bisnis mulai tumbuh akibat dorongan permintaan domestik ataupun pasar internasional yang mulai menaik, tidak otomatis lapangan kerja bertambah dalam sebuah perusahaan sebanyak lapangan kerja yang hilang sebelumnya.
Di sisi lain bailout dan stimulus fiskal yang dijalankan sebuah negara untuk mendorong permintaan dan pertumbuhan ekonomi domestiknya harus dibiayai dengan hutang dengan kompensasi bunga. Dalam jangka pendek dan jangka panjang langkah ini menimbulkan beban keuangan pemerintah yang cukup berat dan lagi-lagi harus ditanggung rakyat negara bersangkutan. Ini juga sebuah paradoks.
Hal ini merefleksikan: “Jika resesi (akan) berlalu dengan pemulihan di sisi permintaan (domestik) dan laju pertumbuhan telah beranjak dari negatif ke positif, maka tidak otomatis krisis pasti akan berakhir.” Dengan kata lain, “jangan tertipu oleh gejala-gejala di permukaan”.
Ekonomi memang tumbuh, tetapi pertumbuhan tersebut tidak memecahkan masalah pengangguran. Permintaan memang mulai pulih tetapi permintaan tersebut didorong oleh konsumsi yang dibiayai hutang. Hal ini berbeda jika permintaan lahir dari kemampuan finansial mandiri.
Ibarat pasien yang sedang sakit, negara-negara di dunia saat ini memfokuskan perhatiannya pada gejala-gejala sakit saja. Mereka hanya memperhatikan bagaimana caranya keluar dari krisis atau resesi dengan mendorong permintaan dan pertumbuhan.
Jika ekonomi mulai tumbuh dan terkatagori keluar dari resesi, maka perekonomian negara tersebut dianggap telah sembuh dari sakitnya. Padahal resesi hanyalah gejala yang tidak muncul kecuali ada problem sistemik di dalamnya. Tidak aneh karena salah diagnosis, krisis yang terjadi datang secara berulang-ulang, dengan rentang waktu yang lebih pendek dan konskwensi yang lebih berat. (Jurnal Ekonomi Ideologis / www.jurnal-ekonomi.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar